IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Eka Asri Pratiwi
Okky Irwina Savitri
Yulia Triana Ratnasari

E-mail: pratiwi.twk@gmail.com, okkyirwinasvtr@gmail.com, yuliatrianaratnasari@gmail.com
Jurusan Administrasi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 05 Malang

Abstrak: Landasan utama kebijakan adalah pertimbangan akal tetapi bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan akal manusia namun merupakan unsur dominan dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan pendidikan dijadikan panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkungan pendidikan secara moderat. Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik khusus, yakni: memiliki tujuan pendidikan, memenuhi aspek legalformal, memiliki konsep operasional, dibuat oleh yang berwenang, dapat dievaluasi, dan memiliki sistematika. Kebijakan pendidikan adalah sebuah sistem dengan sistematika jelas menyangkut seluruh aspek yang diatur.
Kata kunci: implementasi, kebijakan, pendidikan

Abstract: The main foundation of policy is consideration of reason, but it is not merely a result of consideration of human reason. it is the dominant element in decision making process. Education policy is used as a guide to legal-neutral education decision-making and is adapted to the environment of education in a moderate manner. Education policy has special characteristics, namely: having educational goals, fulfilling legal-formal aspects, having operational concepts, being made by the authorities, can be evaluated, and have a systematic. Education policy is a system with clear systematics regarding all aspects that to regulate.
Keywords: implementation, policy, education

PENDAHULUAN
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses kebijakan publik yang menentukan apakah sebuah kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan publik serta dapat diterima oleh publik. Dalam hal ini, dapat ditekankan bahwa bisa saja dalam tahapan perencanaan dan formulasi kebijakan dilakukan dengan sebaik baiknya, tetapi jika pada tahapan implementasinya tidak diperhatikan optimalisasinya, maka tentu tidak jelas apa yang diharapkan dari sebuah produk kebijakan itu. Pada akhirnya pun dipastikan bahwa pada tahapan evaluasi kebijakan, akan menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan implementasi kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu tidak  sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan itu sebagai batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.
Menurut Hasbullah (2015:91) proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat menentukan dan menegangkan. Proses ini menjadi penting disebabkan akhir dari semua kebijakan yang sudah diambil selalu pada tahap implementasi. Karena sebaik apapun rumusan kebijakan yang dibuat, jika tidak diimplementasikan, maka tidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan, maka akan lebih bermanfaat, apapun hasilnya. Jadi, pada saat proses pengimplementasian kebijakan jangan sampai dilakukan dengan tidak mengikuti tahap-tahap sebelumnya. Apabila dalam tahap-tahap proses perumusan kebijakan tidak dilakukan dengan baik dan benar, maka hasilnya saat diimplementasikan pun tidak akan sempurna. Sebab apapun rumusan kebijakannya harus diimplementasikan agar dapat diketahui kekurangan dan kelebihannya apa saja dari suatu kebijakan tersebut.
Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi menurut Mazmanian & Sebastiar dalam Wahab (2008:70) adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Menurut Friedrich dalam Munadi & Barnawi (2011:111) kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langka-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Alasan Perlunya Implementasi Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan kebijakan pendidikan terletak pada implementasinya karena rumusan kebijakan yang dibuat harus dilaksanakan secara fungsional. Jika tidak diimplementasikan maka tidak dapat dirasakan kegunaan dari rumusan kebijakan itu sendiri. Sebaliknya, sederhana apapun rumusan kebijakan akan lebih berguna jika sudah diimplementasikan. Tetapi bukan berarti suatu rumusan kebijakan yang baik atau tidak sederhana itu tidak penting. Akan lebih baik jika suatu rumusan kebijakan yang dibuat dapat mendukung mudahnya implementasi kebijakan. Oleh karena itu, perumusan kebijakan dengan pelaksanaan kebijakan merupakan dua hal yang sama penting dan tidak boleh menghilangkan salah satunya.
Implementasi kebijakan harus dilaksanakan karena permasalahan yang dirumuskan dalam suatu rumusan kebijakan mengharuskan adanya penyelesaian atau pemecahan melalui tindakan nyata dan tidak sekadar diselesaikan secara konseptual saja. Jika secara konseptual maka pada saat merumuskan kebijakan itu sendiri harus dipecahkan melalui implementasi. Dengan melakukan implementasi inilah nantinya akan dapat diketahui secara jelas apakah suatu rumusan alternatif pemecahan masalah yang sudah susun benar-benar sesuai dengan masalah yang ada atau tidak. Serta dapat diketahui juga apakah setelah diterapkannya rumusan tersebut akan menimbulkan suatu masalah baru atau tidak. Jadi seperti penjelasan di awal bahwa implementasi bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan suatu rumusan kebijakan.
Agar implementasi kebijakan dalam pendidikan dapat berjalan lancar dan sukses maka perlu adanya analisis mengenai peraturan yang dapat mendukung kebijakan, keuangan, personel, dan prasarana lainnya yang mendukung suatu implementasi kebijakan. Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan yaitu untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat diwujdukan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Keseluiruhan proses penetapan kebijakan baru bisa dimulai apabila tujuan dan sasaran telah diperinci, program telah disusun serta sejumlah dana telah dialokasikan dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut.
Batasan Implementasi Kebijakan Pendidikan
Nakamura dalam Imron (2012:65) memberikan batasan implementasi kebijakan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan menerjemahkannya ke dalam keputusankeputusan yang bersifat khusus. Sedangkan Jones dalam Imron (2012:65) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan dengan mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan berdasar aktivitas fungsional. Implementasi kebijakan juga dikatakan sebagai konsep yang dinamis sehingga memerlukan usaha-usaha untuk mencara apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Pada akhirnya implementasi dipahami sebagai pengaturan aktivitas yang mengarah pada penempatan program ke dalam suatu dampak. 
Menurut Imron (2012:66) terdapat tiga aktivitas utama dalam implementasi yaitu interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Interpretasi merupakan aktivitas memaknai program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dilaksnakan. Organisasi adalah suatu wadah untuk menempatkan program. Sedangkan aplikasi adalah konsekuensi berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang diperlukan. 
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang pertama dalam implementasi kebijakan adalah organisasi pelaksana kebijakan, yang meliputi pembentukan dan penataan sumber daya, unit-unit serta menggunakan metode yang tepat untuk menjadikan program terealisasi. Kemudian aktivitas yang kedua adalah interpretasi dari para pelaksana kebijakan, yaitu aktivitas pelaksana kebijakan yang menafsirkan agar program-program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Terakhir, aktivitas yang ketiga yaitu aplikasi atau penerapan oleh para pelaksana kebijakan yang mencakup ketentuan rutin dari pelayanan, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan dan perengkapan program dari kebijakan pendidikan yang telah ditentukan.
Supandi dalam Imron (2012:66) memberikan batasan implementasi kebijakan sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar alternatif-alternatif yang telah diputuskan berlaku di dalam praktik. Dengan maksud lain yaitu rumusan kebijakan akan terasa konkrit jika sudah diimplementasikan secara nyata. Namun Islami dalam Imron (2012:66) memiliki pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dimana ia menyatakan bahwa ada beberapa kebijakan yang telah dirumuskan dapat terimplementasikan secara otomatis atau dengan sendirinya. Meskipun banyak juga terdapat rumusan-rumusan kebijakan yang harus diupayakan dalam implementasinya atau tidak secara otomatis terimplemtasikan. Kebijakan yang berjalan secara otomatis biasa dikenal dengan self-executing yaitu suatu kebijakan yang dibuat tanpa adanya landasan hukum misalnya kebijakan yang dibuat oleh sekolah biasanya dalam bentuk tata tertib sekolah dimana di dalamnya tidak terdapat hukum atau undang-undang yang mendasari kebijakan tersebut. Sedangkan untuk kebijakan yang tidak terlaksana dengan sendirinya maka biasanya dikenal dengan non self-executing yaitu suatu kebijakan yang dilandasi oleh hukum seperti perundang-undangan misalnya kebijakan Kurikulum 2013 dimana kebijakan tersebut sudah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013.
Aktor-aktor Pelaksana Kebijakan Pendidikan
Imron (2012:66-67) menyatakan bahwa aktor-aktor implementasi kebijakan dapat digolongkan menjadi aktor implementasi kebijakan formal dan informal dimana memiliki peran yang berbeda-beda tetapi secara keseluruhan para aktor tersebut mengambil bagian dalam proses implementasi. Yang termasuk dalam aktor implementasi kebijakan formal adalah perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan sedangkan yang termasuk dalam aktor informal adalah mediator kebijakan, partai politik, organisasi massa, dan interest group, tokoh perorangan, dan media massa.
Perumus kebijakan pendidikan, selain merumuskan kebijakan juga memiliki tugas penting lainnya terutama pada saat implementasi kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan, para perumus berupaya agar rumusan-rumusan yang disusun dapat disahkan sedangkan dalam implementasi kebijakan mereka lebih banyak dalam memantau.
Pelaksana kebijakan pendidikan, merupakan aktor yang berperan paling utama dalam implementasi kebijakan pendidikan atau biasa disebut dengan eksekutif. Para pelaksana berjenjang mulai dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Pelaksana kebijakan merupakan aktor yang secara resmi duduk di pemerintahan dan diberikan kewenangan formal serta mendapat limpahan sumber-sumber demi terlaksananya kebijakan.
Mediator pelaksanaan kebijakan pendidikan, yaitu perorangan atau kelompok yang mendapat limpahan dari pelaksana kebijakan formal dalam rangka membantu pelaksana kebijakan. Dilihat dari fungsinya, jelas bahwa mediator pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah rekanan pemerintahan dalam hal pelaksanaan kebijakan yang diperlukan agar tidak menimbulkan ineffectivity dan inefficiency dimana terdapat suatu keadaan yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna dalam birokrasi pemerintahan. Sebab jika seluruh kebijakan tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pelaksana formal maka bisa tidak selesai melihat banyaknya rumusan-rumusan kebijakan yang harus dilaksanakan dan membutuhkan waktu yang lama.
Partai politik, wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum telah duduk di lembaga perwakilan yang bertugas sebagai perumus kebijakan formal, secara independen partai politik juga berusaha memengaruhi pelaksanaan kebijakan. Pengaruh tersebut dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga secara tidak langsung melalui wakilwakilnya di parlemen atau badan-badan otonomi yang dibentuk. Tokoh-tokoh partai politik juga biasanya memberikan komentar melalui media massa dalam rangka memberikan koreksi dan pikiran-pikiran alternatif bagi pelaksanaan kebijakan. Selain itu partai politik juga sering memberikan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan kepentingan anggota dan misi perjuangan partai.
Interest group, yaitu suatu kelompok yang dibentuk oleh sekumpulan orang yang memiliki ketertarikan atau interes yang sama sehingga dapat memiliki kekompakan dalam hal memengaruhi implementasi kebijakan. Mereka selalu berusaha agar kepentingan yang mereka punya tidak dirugikan oleh kebijakan yang dilakukan tetapi memang pada dasarnya kebijakan tersebut dilaksanakan bukan dimaksudkan untuk merugikan siapapun. Organisasi massa, juga sering memberikan pemikiran dan gagasan bagi implementasi kebijakan. Oleh karena sifatnya yang membantu maka tidak jarang apa yang dilakukan oleh organisasi massa ini justru cenderung menggarisbawahi dan menjabarkan lebih lanjut terhadap kebijakan yang dilaksanakan.
Tokoh perorangan, seseorang yang memiliki kapasitas dan kelebihan pribadi yang bagus akan diangkat menjadi orang yang memberi nasihat keahlian terhadap implementasi kebijakan. Peranan tokoh perorangan ini sangat besar dan menentukan terhadap implementasi kebijakan sebab bisa saja apa yang mereka katakan akan diikuti begitu saja oleh pelaksana kebijakan formal lebih-lebih jika pelaksana kebijakan formal tidak begitu memiliki waktu untuk memikirkannya.
Media massa, menjadi partner yang baik dalam pelaksanaan kebijakan terutama dalam hal pemberian informasi kepada masyarakat. Masyarakat akan mengetahui bagaimana implementasi kebijakan yang sedang berjalan. Informasi yang diberikan oleh media massa kurang lebih akan memengaruhi para pembacanya.
Sedangkan menurut Chan & Sam (2005:28-29) aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik di antaranya yaitu wakil-wakil partai politik yang duduk di lembaga perwakilan sebagai perumus kebijakan formal serta berusaha memengaruhi pelaksanaan kebijakan, dan media.
Arena Implementasi Kebijakan Pendidikan
Arena yaitu suatu wahana, tempat, dan gelanggang yang digunakan para peserta implementasi kebijakan untuk memainkan perannya. Arena ini bisa di level nasional, dapat juga di level operasional dan teknikal. Lembaga-lembaga perwakilan, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat daerah tingkat dua adalah arena yang sering digunakan. Demikian juga birokrasi, mulai dari pusat sampai dengan ke bawah adalah gelanggang bagi implementasi kebijakan. Di arena ini, para peserta implementasi kebijakan pendidikan dapat menggunakan kewenangan yang mereka miliki. Berkaitan dengan wewenang tersebut, Weber dalam Imron (2012:72) menggolongkannya menjadi tiga bagian. Pertama, kewenangan tradisional, yaitu kewenangan yang didasarkan atas tradisi atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, kewenangan legal-rasional atau birokratis ialah kewenangan yang didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku. Ketiga, kewenangan karismatis adalah kewenangan yang didasarkan atas adanya jalinan emosional para pengikut terhadap para pemimpinnya.
Jenis-jenis Kebijakan
Anderson dalam Imron (2012:73) mengemukakan beberapa jenis kebijakan, yaitu: (1) substantive policies, yaitu materi, isi, atau subject matter kebijakan; (2) procedural policies, yaitu menyangkut siapa, kelompok mana dan pihak mana yang terlibat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan; (3) distributive policies, yaitu kebijakan yang memberikan pelayanan atau keuntungan kepada sejumlah atau sekelompok masyarakat (bisa berada di berbagai bidang); (4) redistributive policies yaitu kebijakan yang arahnya memindahkan hal kepemilikian atau hak-hak kepada masyarakat; (5) regulatory policies yaitu suatu kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan atas suatu perbuatan terhadap seorang atau sekelompok orang; (6) self regulatory policies dimana biasanya didukung oleh seseorang maupun sekelompok orang yang memiliki kepentingan dengan implementasi kebijakan yang sedang berjalan; (7) material policies yaitu suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan sumber-sumber material kepada penerimanya dengan mengenakan beban kepada yang mengalokasikannya; (8) symbolic policies yaitu kebijakan yang umumnya tidak memaksa masyarakat karena dilaksanakan atau tidaknya kebijakan ini tidak terlalu besar dampaknya kepada masyarakat; (9) collective good policies yaitu suatu kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan guna memenuhi kepentingan orang banyak yang jika diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang harus juga diupayakan agar tersedia untuk semua orang; (10) private good policies yaitu suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang atau pelayanan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan harus menyediakan biaya untuk mendapatkan hal tersebut. Kebijakan ini tidak terlalu berbeda dari mekanisme pasar yakni siapa yang membutuhkan dan menyediakan dana untuk itu maka ia akan mendapatkannya; (11) liberal policies yaitu suatu kebijakan yang menuntut kepada pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubahan yang mengarah pada pengurangan ketidakmerataan hidup masyarakat; dan (12) conservative policies yaitu mempertahankan apa yang telah ada bahkan tuntutan atas perubahanpun diperlambat. Perubahan dianggap akan berjalan secara alamiah dan tidak perlu direkayasa.
Metodologi dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Hoogwood & Gun merupakan tokoh pencetus teori yang menggunakan top down approach. Dalam teori ini, Akib (2010:50-51) menyatakan bahwa agar dapat mengimplementasikan kebijakan dengan sempurna, maka diperlukan beberapa syarat, diantaranya: (1) kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar; (2) apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai termasuk sumber daya waktu; (3) apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada; (4) apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal; (5) seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinya semakin sedikit hubungan sebab akibat semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai; (6) apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif; (7) pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; (8) tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar; (9) komunikasi dan koordinasi yang sempurna; dan (10) pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Studi Analisis Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
            Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai halhal sebagai berikut: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti; 2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; 3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional; 4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai; 5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen; 6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya; 8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Tilaar & Nugroho (2012) menyatakan bahwa pendekatan dalam implementasi kebijakan pendidikan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu:
1.      Pendekatan deskriptif atau positif, merupakan prosedur atau cara untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat dengan keadaan tidak adanya kriteria; bertujuan mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai keadaan apa adanya (state of the art) dari gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti (Chan & Sam, 2005:24). Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan menyajikan informasi apa adanya pada para pengambil keputusan, agar memahami permasalahan yang sedang disoroti dari kebijakan.
2.      Pendekatan normatif, merupakan upaya untuk menawarkan suatu norma, kaidah, resep yang dapat digunakan dalam rangka memecahkan suatu masalah, yang. Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan membantu para pengambil keputusan dalam bentuk pemikiran mengenai prosedur paling efisien dalam memecahkan masalah kebijakan publik, yang biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi rasional (Chan & Sam, 2005:24).
3.      Pendekatan evaluatif, menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu keadaan/upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan/program dengan menerapkan kriteria atas terjadinya keadaan tersebut. Gejala yang diterangkan adalah gejala yang berkaitan dengan nilai dan pengukuran setelah dihubungkan dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Misalnya, meningkatnya mutu pendidikan adalah suatu gejala yang dipersepsikan setelah dilakukan pengukuran dalam kaitannya dengan kriteria tentang mutu pendidikan yang ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih menekankan pada pengukuran (Tilaar & Nugroho, 2012:106).
Sedangkan Hasbullah (2015:101) mengatakan bahwa para ahli ilmu-ilmu sosial mengemukakan, setidaknya ada empat pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan umumnya, termasuk kebijakan pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.      Pendekatan struktural, merupakan salah satu pendekatan yang bersifat top-down yang dikenal dalam teori-teori organisasi modern. Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan ini menekankan pentingnya komando dan supervisi menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing-masing organisasi. Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu proses implementasi kebijakan pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien.
2.      Pendekatan prosedural dan manajerial, pada dasarnya dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pendekatan struktural, di mana pendekatan ini tidak mementingkan penataan struktur-struktur birokrasi pelaksana yang cocok bagi implementasi program, melainkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang relevan, termasuk prosedur-prosedur manajerial beserta teknik-teknik manajemen yang tepat.
3.      Pendekatan perilaku, meletakkan dasar semua orientasi dari kegiatan implementasi kebijakan pada perilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasinya sebagaimana pendekatan struktural atau pada teknik manajemennya sebagaimana pendekatan prosedural dan manajerial.
4.      Pendekatan Politik, lebih melihat pada faktor-faktor politik atau kekuasaan yang dapat memperlancar atau menghambat proses implementasi kebijakan. Dalam sebuah organisasi, selalu ada perbedaan dan persaingan antar individu atau kelompok dalam memperebutkan pengaruh. Akibatnya adalah ada kelompok-kelompok individu yang dominan serta ada yang kurang dominan, ada kelompok-kelompok pengikut dan ada kelompok penentang.
Satu hal yang paling penting untuk menentukan pendekatan adalah implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Dalam menentukan pendekatan implementasi kebijakan juga harus memerhatikan aktor pelaksananya. Aktor implementasi tidaklah hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah masyarakat atau swasta, dan implementasi kebijakan yang diswastakan. Sehingga apapun pendekatan yang dipakai, apabila aktor pelaksananya mengetahui target implementasi yang seharusnya dicapai, maka akan berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah dirumuskan.
Skenario Analisis Kebijakan
Menurut Wahab (2008:74-75) skenario merupakan langkah-langkah hipotetik yang difokuskan pada proses- proses kausalitas dan titik-titik kritis keputusan. Selanjutnya seorang analis perlu memikirkan beberapa hal dalam menentukan langkah menyusun skenario analisis kebijakan menurut sebagai berikut: (1) merumuskan lingkungan politik yang relevan dengan masalah kebijakan yang ditanganinya; (2) menghimpun dan mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan; dan (3) membuat pertimbangan politik dan mneyiapkan perkiraan kelayakan politiknya.
Adapun langkah-langkah secara garis besar dalam membuat skenario analisis kebijakan adalah sebagai berikut: (1) sebelum menyusun desain alternatif kebijakan, perlu merumuskan dulu bentuk serangkaian pernyataan-pernyataan hipotetikal; (2) merumuskan secara tepat policy space (ruang kebijakan) dan mengkaitkannya dengan substansi kebijakan sebagai policy issue area (daerah isu kebijakan); (3) memperhatikan aspek waktu dan fisibilitas sebuah kebijakan; dan (4) mengkaji informasi politik yang relevan yaitu menyangkut aktor kunci; motivasi aktor; kepercayaan politik aktor; sumberdaya; pentas para aktor; dan pertukaran.
Dalam kaitan dengan skenario analisis kebijakan, ramalan (estimasi) merupakan hal penting bagaimana fakta yang ada digunakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi. Estimasi sendiri berkaitan dengan data dan teori yang dapat menjelaskan tentang subjek yang kompleks. Data dilihat dalam kaitannya dengan teori yang menjelaskan tentang hubungan antara komponen dalam sistem sosial. Kekurangpahaman tentang hubungan sosial elementer dalam mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengklasifikasikan data akan mengakibatkan gagalnya analisis kebijakan dilaksanakan.
Hubungan Antara Pembuat dan Pelaksana Kebijakan Pendidikan
Imron (2012:77) mengatakan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan, para perumus kebijakan seringkali berhubungan dengan pelaksana kebijakan Pendidikan. Hubungan tersebut senantiasa dilakukan karena saling berkepentingan terhadap kebijakan yang dilaksanakan. Nakamura & Smallwood dalam Imron (2012:78) mengemukakan bahwa terdapat model-model hubungan antara perumus dan pelaksana kebijakan pendidikan, antara lain: (1) model hubungan teknokratis yang didasarkan pada teori klasik birokratis dimana pembuat kebijakan sebagai perancang struktur komando mengenai kebijakan, sedangkan pelaksana sekadar sebagai pelaksana teknikal; (2) model hubungan utusan yang diberi wewenang dimana pembuat kebijakan memberikan kewenangan umum kepada pelaksana sedangkan pelaksana kebijakan berkedudukan sebagai penerima kewenangan yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan konkrit; (3) model hubungan antara penjual dan pembeli dimana pembuat dan pelaksana saling menawar dan kedudukan di antara keduanya seimbang maka keduanya dapat melakukan tawar menawar dalam pelaksanaan kebijakan; dan (4) model hubungan wiraswasta birokratis yang merupakan kebalikan dari model hubungan teknokratis dimana pada model hubungan wiraswata birokratis ini kekuasaan besar berada di tangan pelaksana kebijakan sekaligus dalam hal control kebijakan.
Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Tilaar & Nugroho (2012:108) keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat didalam implementasi, maka dari itu ada pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edwards III. Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni:
1.      Komunikasi, implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan yang perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu: (a) transmisi; (b) kejelasan informasi; dan (c) konsistensi informasi yang disampaikan.
2.      Sumber daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik.
3.      Disposisi, yaitu watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
4.      Struktur birokrasi, dimana struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) dimana menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks karena ada banyak faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan. Hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk sasaran, siapa yang berperan, dan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, dan (2) dana pendukung yang proporsional.
Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan. Interaksi merupakan konsep penting dalam implementasi yang mengacu pada suatu hubungan yang terkadang sangat kompleks. Dalam implementasi terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk kelompok sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus dilaksanakan, dan (2) dana pendukung yang proporsional, tanpa dana kebijakan tidak akan pernah terealisasikan.
Menurut Syukur dalam Hasbullah (2015:104), ada tiga unsur penting dalam proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan, (2) target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program, perubahan atau peningkatan, (3) unsur pelaksana (implementor) baik organisaai atau perorangan untuk bertanggung jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Terlaksana tidaknya suatu kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, ditentukan oleh banyak faktor. Para pakar kebijakan memiliki pandangan beragam tentang faktor-faktor yang memengaruhi berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan. Grindle dalam Hasbullah (2015:104), menyatakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah aspek isi dari kebijakan itu sendiri (content of policy) yang akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan politik, serta aspek konteks atau lingkungan implememtasi (contex of implementation) dilakukan. Kedua aspek tersebut dipahami Grindle sebagai faktor-faktor yang dapat memengaruhi berhasil tidaknya proses implememtasi kebijakan.
Pakar kebijakan lainnya Dunn dalam Hasbullah (2015:104) mengemukakan bahwa untuk keberhasilan suatu kebijakan harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Policy Stakeholder, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan, karena mereka memengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah lingkungan di maana kebijakan akan ditetapkan.
2.      Policy Environment, yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan akan terjadi saling memengaruhi oleh kebijakan publik.
Imron dalam Hasbullah (2015:105), merinci berbagai faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebiijakan terutama di bidang Pendidikan, yaitu:
1.      Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, maka semakin rumit dan lama implementasinya, bahkan kompleksitas rumusan kebijakan juga berakibat pada banyaknya peraturan-peraturan jabaran, petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis) yang harus dibuat.
2.      Tidak jelasnya rumusan kebijakan dan pemecahan masalah yang diajukan, ketidak jelasan demikian dapat menjadikan penyebab aparat pelaksaana ragu-ragu. Khawatir jika hal tersebut dilaksanakan, tidak sesuai dengan yang dikehendaki sebagaimana dalam rumusannya.
3.      Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan, tersedia tidaknya sumber potensial, baik yang bersifat manusia maupun nonmanusia, dapat dipastikan akan memengaruhi implementasi kebijakan, sebab bagaimanapun pelaksanaan kebijakan punya konsekuensi logis bagi penyediaan sumber-sumber potensial kebijakan.
4.      Keahlian pelaksana kebijakan, semakin profesional pelaksana kebijakan, baik profesional yang bersifat teknis maupun manajerial, maka akan semakin baik pula implemetasi kebijakan. Sebaliknya, semakin tidak ahli, bisa menjadi penyebab gagalnya bahkan tidak berhasilnya implementasi.
5.      Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan, dukungan dari masyarakat sangat diperlukan, sebab kebijakan yang dilaksanakan adalah melibatkan masyarakat banyak, dengan berbagai karakteristiknya.
6.      Faktor-faktor efektivitas dan efisiensi birokrasi, dimana faktor ini sangat penting, sebab tidak jarang masyarakat justru ingin memberikan dukungan terhadap kebijakan dapat merasa kesulitan hanya disebabkan tidak bagusnya birokrasi yang menjadi pendukungnya tetapi masyarakat mengalami kesulitan setelah berhubungan dengan birokrasi dan aparatnya.
Problema dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Hasbullah (2015:106) implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan. Interaksi merupakan konsep penting dalam implementasi, yang mengacu pada suatu hubungan yang terkadang kompleks. Dalam implementasi dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk kelompok sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus dilaksanakan; dan (b) dana pendukung yang proporsional. Tanpa dana kebijakan tidak akan pernah terealisir.
Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu berjalan dengan baik, beberapa faktor di antaranya adalah:  
1.      Faktor organisasi
Suatu kebijakan dalam implementasinya seringkali memerlukan keterlibatan dari banyak organisasi yang terkadang memiliki persepsi dan interest yang berlainan, baik dalam organisasi pemerintah maupun antara organisasi pemerintah dengan organisasi swasta. Keadaan ini sering menimbulkan masalah koordinasi dan compliance.
2.      Faktor politik
Faktor politik seringkali disebit sebagai faktor non teknis, yang mencakup: (a) legislasi tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari tujuan yang ingin dicapai yang sering tidak jelas dan (b) log-rolling, dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi suatu program diakibatkan kesalahan pada saat proses legitimasi, proses bargaining yang dilakukan aktor-aktor perumus kebijakan dilakukan dengan cara setuju atau ketidaksetujuan terhadap uslan kebijakan dilakukan dengan tukar tambah atau modifikasi usulan, sehingga akibatnya setelah usulan ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak jelas (vague).
3.      Faktor politik antar organisasi (aktor)
Merupakan perbedaan mengenai lingkungan politik masing-masing organisasi, yang disebabkan oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing aktor. Dalam konteks hubungan antar organisasi politik (pelaksana) terbagi dalam dua struktur, yaitu: (a) struktur implementasi secara vertikal, yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi adalah kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan seperti yang telah digariskan dan (b) struktur implementasi secara horizontal, koordinasi menjadi kata kunci keberhasilan implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing instansi dalam mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam terminologi implementasi disebut politik antar organisasi dalam implementasi.
Kendala dan Perspektif Keberhasilan Implementasi
Implementasi kebijakan pendidikan yang juga merupakan program pemerintah dapat dipandang dari tiga sudut yang berbeda, yaitu: pertama, pemrakarsa atau pembuat kebijakan, kedua, penjabat-penjabat pelaksana di lapangan, dan yang ketiga, aktor-aktor perorangan diluar baadan-badan pemerintahan kepada siapa program itu dituju, yakni kelompok sasaran atau target grup. Kondisi demikian berarti implementasi kebijakan dan strategi merupakan desain pengelolaan berbagai sistem yang berlaku dalam organisasi untk mencapai tingkat integrasi yang tinggi dari seluruh unsur yang terlibat yaitu, manusia, struktur, proses administrasi dan manajemen serta dana, yang kesemannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
Untuk dapat melaksanakan berbagai kebijakan yang telah dibuat pemerintah, menurut Peters dalam Hasbullah (2015:107) maka sangat diperlukan instrumen untuk mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yaitu: (1) Hukum, dengan menetapkan suatu hukum, pemerintah mempunyai legitimasi untuk dapat melaksanakan suatu kebijakan yang dapat memaksa setiap warga Negara untuk mentaatinya. (2) Services, pemerintah dapat melaksanakan kebijakan dengan memberikan pelayanan kepada setiap warga Negara. Pemberian pelayanan dapat meliputi berbagai bidang termasuk pelayanan pendidikan serta yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar pelayanan tersebut dapat diberikan oleh pemerintah secara efisien. (3) Dana, ketersediaan dana merupakan instrumen kebijakan yang sangat penting sebab pemberian pelayanan kepada masyarakat dan jalannya organisasi pemerintah hanya mungkin dilakukan dengan adanya sumber daya untuk membiayai semua kegiatan pemerintah. (4) Pajak, instrumen kebijakan pemerintah untuk terciptanya pemerataan berbagai jenis pelayanan kepada masyarakat. Walaupun pajak dipungut dari masyarakat namun akan dikembalikan oleh pemerintah kepada masyarakat melalui berbagai bentuk program yang memberikan keuntungan kepada masyarakat yang kurang beruntung. (5) Situasi, apabila semua instrumen di atas gagal untuk digunakan oleh pemerintah maka dapat menggunakan keyakinan moral untuk memengaruhi masyarakat. Karena sepanjang masih memiliki legitimasi masyarakat maka memiliki posisi yang menguntungkan dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat sebab masyarakat merupakan aspek yang sangat berpengaruh atas nama kepentingan umum.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan merupakan suatu aturan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu berkaitan dengan adanya permasalahan tertentu dalam rangka mencari alternatif-alternatif agar tujuan atau sasaran yang ditentukan dapat tercapai. Sedangkan kebijakan pendidikan sendiri merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi mengarah pada ketercapaian tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Keberhasilan kebijakan pendidikan terletak pada implementasinya karena rumusan kebijakan yang dibuat harus dilaksanakan secara fungsional. Jika tidak diimplementasikan maka tidak dapat dirasakan kegunaan dari rumusan kebijakan itu sendiri. Akan lebih baik jika suatu rumusan kebijakan yang dibuat dapat mendukung mudahnya implementasi kebijakan. Implementasi bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan suatu rumusan kebijakan.
Saran
Saran yang dapat penulis berikan kepada pemerintah yaitu sebaiknya atau sekiranya implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia ini dapat lebih dipersiapkan mulai dari perumusan kebijakan itu sendiri hingga nantinya ada evaluasi dari kebijakan pendidikan tersebut. Untuk perumus kebijakan, saran yang dapat diberikan yaitu sekiranya dalam merumuskan kebijakan pendidikan harus benar-benar dirumuskan dengan matang serta melihat kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat terjadi saat implementasi kebijakan itu sendiri lalu juga harus sudah memiliki solusi dari kemungkinankemungkinan tersebut. Selain itu, perumus kebijakan pendidikan juga harus senantiasa ikut memantau keberlangsungan implementasi kebijakan pendidikan.
Lalu untuk pelaksana kebijakan pendidikan dimana mengingat pelaksana kebijakan pendidikan ini merupakan aktor yang berperang paling utama dalam kebijakan pendidikan maka harus senantiasa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik karena di sini keputusan akhir banyak bergantung pada pelaksana kebijakan pendidikan ini. Dan untuk para aktor implementasi kebijakan Pendidikan juga harus senantiasa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Dengan begitu maka implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia akan menjadi lebih baik lagi ke depannya.

DAFTAR RUJUKAN


Akib, H. 2010. Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Jurnal Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar, 1(1). (Online), (ojs.unm.ac.id/iap/article/view/289). 

Chan, S. M. & Sam, T. T. 2005. Analisis SWOT, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hasbullah, H. M. 2015. Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Imron, A. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk & Masa Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.

Munadi, M. & Barnawi. 2011. Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan. Yogyakarta: ArRuzz Media.

Tilaar, H. A. R. & Nugroho, R. 2012. Kebijakan Pendidikan, Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahab, S. A. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN ARTISTIK DALAM SUPERVISI PENGAJARAN

GERAKAN SEKOLAH TANPA BATAS SEBAGAI WADAH PEMBELAJARAN BAGI LANSIA

PENGATURAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER