IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Eka
Asri Pratiwi
Okky
Irwina Savitri
Yulia
Triana Ratnasari
E-mail: pratiwi.twk@gmail.com,
okkyirwinasvtr@gmail.com, yuliatrianaratnasari@gmail.com
Jurusan Administrasi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang, Jl.
Semarang No. 05 Malang
Abstrak: Landasan utama kebijakan adalah
pertimbangan akal tetapi bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan akal
manusia namun merupakan unsur dominan dalam proses pengambilan keputusan.
Kebijakan pendidikan dijadikan panduan pengambilan keputusan pendidikan yang
legal-netral dan disesuaikan dengan lingkungan pendidikan secara moderat.
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik khusus, yakni: memiliki tujuan
pendidikan, memenuhi aspek legalformal, memiliki konsep operasional, dibuat
oleh yang berwenang, dapat dievaluasi, dan memiliki sistematika. Kebijakan
pendidikan adalah sebuah sistem dengan sistematika jelas menyangkut seluruh
aspek yang diatur.
Kata kunci: implementasi, kebijakan,
pendidikan
Abstract: The main foundation of policy is
consideration of reason, but it is not merely a result of consideration of
human reason. it is the dominant element in decision making process. Education
policy is used as a guide to legal-neutral education decision-making and is
adapted to the environment of education in a moderate manner. Education policy
has special characteristics, namely: having educational goals, fulfilling
legal-formal aspects, having operational concepts, being made by the
authorities, can be evaluated, and have a systematic. Education policy is a
system with clear systematics regarding all aspects that to regulate.
Keywords: implementation, policy,
education
PENDAHULUAN
Implementasi kebijakan
publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses kebijakan publik yang
menentukan apakah sebuah kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan publik
serta dapat diterima oleh publik. Dalam hal ini, dapat ditekankan bahwa bisa
saja dalam tahapan perencanaan dan formulasi kebijakan dilakukan dengan sebaik
baiknya, tetapi jika pada tahapan implementasinya tidak diperhatikan
optimalisasinya, maka tentu tidak jelas apa yang diharapkan dari sebuah produk
kebijakan itu. Pada akhirnya pun dipastikan bahwa pada tahapan evaluasi
kebijakan, akan menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan implementasi
kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan
produk kebijakan itu sebagai batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.
Menurut Hasbullah (2015:91) proses implementasi
kebijakan merupakan proses yang sangat menentukan dan menegangkan. Proses ini
menjadi penting disebabkan akhir dari semua kebijakan yang sudah diambil selalu
pada tahap implementasi. Karena sebaik apapun rumusan kebijakan yang dibuat,
jika tidak diimplementasikan, maka tidak akan dapat dirasakan manfaatnya.
Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan,
maka akan lebih bermanfaat, apapun hasilnya. Jadi, pada saat proses
pengimplementasian kebijakan jangan sampai dilakukan dengan tidak mengikuti
tahap-tahap sebelumnya. Apabila dalam tahap-tahap proses perumusan kebijakan
tidak dilakukan dengan baik dan benar, maka hasilnya saat diimplementasikan pun
tidak akan sempurna. Sebab apapun rumusan kebijakannya harus diimplementasikan
agar dapat diketahui kekurangan dan kelebihannya apa saja dari suatu kebijakan
tersebut.
Konsep
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi menurut
Mazmanian & Sebastiar dalam Wahab (2008:70) adalah pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula
berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan.
Menurut Friedrich dalam Munadi & Barnawi
(2011:111) kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan
langka-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan,
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Alasan
Perlunya Implementasi Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan kebijakan
pendidikan terletak pada implementasinya karena rumusan kebijakan yang dibuat
harus dilaksanakan secara fungsional. Jika tidak diimplementasikan maka tidak
dapat dirasakan kegunaan dari rumusan kebijakan itu sendiri. Sebaliknya,
sederhana apapun rumusan kebijakan akan lebih berguna jika sudah
diimplementasikan. Tetapi bukan berarti suatu rumusan kebijakan yang baik atau
tidak sederhana itu tidak penting. Akan lebih baik jika suatu rumusan kebijakan
yang dibuat dapat mendukung mudahnya implementasi kebijakan. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan dengan pelaksanaan kebijakan merupakan dua hal yang sama
penting dan tidak boleh menghilangkan salah satunya.
Implementasi kebijakan
harus dilaksanakan karena permasalahan yang dirumuskan dalam suatu rumusan
kebijakan mengharuskan adanya penyelesaian atau pemecahan melalui tindakan
nyata dan tidak sekadar diselesaikan secara konseptual saja. Jika secara
konseptual maka pada saat merumuskan kebijakan itu sendiri harus dipecahkan
melalui implementasi. Dengan melakukan implementasi inilah nantinya akan dapat
diketahui secara jelas apakah suatu rumusan alternatif pemecahan masalah yang
sudah susun benar-benar sesuai dengan masalah yang ada atau tidak. Serta dapat
diketahui juga apakah setelah diterapkannya rumusan tersebut akan menimbulkan
suatu masalah baru atau tidak. Jadi seperti penjelasan di awal bahwa
implementasi bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan suatu rumusan
kebijakan.
Agar implementasi kebijakan dalam pendidikan dapat
berjalan lancar dan sukses maka perlu adanya analisis mengenai peraturan yang dapat
mendukung kebijakan, keuangan, personel, dan prasarana lainnya yang mendukung
suatu implementasi kebijakan. Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan
yaitu untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat diwujdukan sebagai
hasil dari kegiatan pemerintah. Keseluiruhan proses penetapan kebijakan baru
bisa dimulai apabila tujuan dan sasaran telah diperinci, program telah disusun
serta sejumlah dana telah dialokasikan dalam rangka mewujudkan tujuan dan
sasaran tersebut.
Batasan
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Nakamura dalam Imron
(2012:65) memberikan batasan implementasi kebijakan sebagai keberhasilan
mengevaluasi masalah dan menerjemahkannya ke dalam keputusankeputusan yang
bersifat khusus. Sedangkan Jones dalam Imron (2012:65) lebih banyak mengkritik
batasan-batasan implementasi kebijakan dengan mendasarkan konsepsi implementasi
kebijakan berdasar aktivitas fungsional. Implementasi kebijakan juga dikatakan
sebagai konsep yang dinamis sehingga memerlukan usaha-usaha untuk mencara apa
yang akan dan dapat dilaksanakan. Pada akhirnya implementasi dipahami sebagai
pengaturan aktivitas yang mengarah pada penempatan program ke dalam suatu
dampak.
Menurut Imron (2012:66)
terdapat tiga aktivitas utama dalam implementasi yaitu interpretasi,
organisasi, dan aplikasi. Interpretasi merupakan aktivitas memaknai program ke dalam
pengaturan yang dapat diterima dan dilaksnakan. Organisasi adalah suatu wadah
untuk menempatkan program. Sedangkan aplikasi adalah konsekuensi berupa
pemenuhan perlengkapan serta biaya yang diperlukan.
Dapat disimpulkan bahwa
aktivitas yang pertama dalam implementasi kebijakan adalah organisasi pelaksana
kebijakan, yang meliputi pembentukan dan penataan sumber daya, unit-unit serta
menggunakan metode yang tepat untuk menjadikan program terealisasi. Kemudian
aktivitas yang kedua adalah interpretasi dari para pelaksana kebijakan, yaitu
aktivitas pelaksana kebijakan yang menafsirkan agar program-program menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
Terakhir, aktivitas yang ketiga yaitu aplikasi atau penerapan oleh para
pelaksana kebijakan yang mencakup ketentuan rutin dari pelayanan, atau lainnya
yang disesuaikan dengan tujuan dan perengkapan program dari kebijakan
pendidikan yang telah ditentukan.
Supandi dalam Imron (2012:66) memberikan batasan
implementasi kebijakan sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau
mengupayakan agar alternatif-alternatif yang telah diputuskan berlaku di dalam
praktik. Dengan maksud lain yaitu rumusan kebijakan akan terasa konkrit jika
sudah diimplementasikan secara nyata. Namun Islami dalam Imron (2012:66)
memiliki pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dimana ia menyatakan
bahwa ada beberapa kebijakan yang telah dirumuskan dapat terimplementasikan secara
otomatis atau dengan sendirinya. Meskipun banyak juga terdapat rumusan-rumusan
kebijakan yang harus diupayakan dalam implementasinya atau tidak secara
otomatis terimplemtasikan. Kebijakan yang berjalan secara otomatis biasa
dikenal dengan self-executing yaitu suatu kebijakan yang dibuat tanpa adanya
landasan hukum misalnya kebijakan yang dibuat oleh sekolah biasanya dalam
bentuk tata tertib sekolah dimana di dalamnya tidak terdapat hukum atau
undang-undang yang mendasari kebijakan tersebut. Sedangkan untuk kebijakan yang
tidak terlaksana dengan sendirinya maka biasanya dikenal dengan non
self-executing yaitu suatu kebijakan yang dilandasi oleh hukum seperti
perundang-undangan misalnya kebijakan Kurikulum 2013 dimana kebijakan tersebut
sudah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yakni Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum 2013.
Aktor-aktor
Pelaksana Kebijakan Pendidikan
Imron (2012:66-67)
menyatakan bahwa aktor-aktor implementasi kebijakan dapat digolongkan menjadi
aktor implementasi kebijakan formal dan informal dimana memiliki peran yang
berbeda-beda tetapi secara keseluruhan para aktor tersebut mengambil bagian dalam
proses implementasi. Yang termasuk dalam aktor implementasi kebijakan formal
adalah perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan sedangkan yang termasuk dalam
aktor informal adalah mediator kebijakan, partai politik, organisasi massa, dan
interest group, tokoh perorangan, dan media massa.
Perumus kebijakan
pendidikan, selain merumuskan kebijakan juga memiliki tugas penting lainnya
terutama pada saat implementasi kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan, para
perumus berupaya agar rumusan-rumusan yang disusun dapat disahkan sedangkan
dalam implementasi kebijakan mereka lebih banyak dalam memantau.
Pelaksana kebijakan
pendidikan, merupakan aktor yang berperan paling utama dalam implementasi
kebijakan pendidikan atau biasa disebut dengan eksekutif. Para pelaksana
berjenjang mulai dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Pelaksana
kebijakan merupakan aktor yang secara resmi duduk di pemerintahan dan diberikan
kewenangan formal serta mendapat limpahan sumber-sumber demi terlaksananya
kebijakan.
Mediator pelaksanaan
kebijakan pendidikan, yaitu perorangan atau kelompok yang mendapat limpahan
dari pelaksana kebijakan formal dalam rangka membantu pelaksana kebijakan.
Dilihat dari fungsinya, jelas bahwa mediator pelaksanaan kebijakan pendidikan
adalah rekanan pemerintahan dalam hal pelaksanaan kebijakan yang diperlukan
agar tidak menimbulkan ineffectivity dan inefficiency dimana terdapat suatu
keadaan yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna dalam birokrasi
pemerintahan. Sebab jika seluruh kebijakan tersebut dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh pelaksana formal maka bisa tidak selesai melihat banyaknya
rumusan-rumusan kebijakan yang harus dilaksanakan dan membutuhkan waktu yang
lama.
Partai politik,
wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum telah duduk di
lembaga perwakilan yang bertugas sebagai perumus kebijakan formal, secara
independen partai politik juga berusaha memengaruhi pelaksanaan kebijakan.
Pengaruh tersebut dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga secara tidak
langsung melalui wakilwakilnya di parlemen atau badan-badan otonomi yang
dibentuk. Tokoh-tokoh partai politik juga biasanya memberikan komentar melalui
media massa dalam rangka memberikan koreksi dan pikiran-pikiran alternatif bagi
pelaksanaan kebijakan. Selain itu partai politik juga sering memberikan
pandangan-pandangan yang berkaitan dengan kepentingan anggota dan misi
perjuangan partai.
Interest group,
yaitu suatu kelompok yang dibentuk oleh sekumpulan orang yang memiliki
ketertarikan atau interes yang sama sehingga dapat memiliki kekompakan dalam
hal memengaruhi implementasi kebijakan. Mereka selalu berusaha agar kepentingan
yang mereka punya tidak dirugikan oleh kebijakan yang dilakukan tetapi memang
pada dasarnya kebijakan tersebut dilaksanakan bukan dimaksudkan untuk merugikan
siapapun. Organisasi massa, juga sering memberikan pemikiran dan gagasan bagi
implementasi kebijakan. Oleh karena sifatnya yang membantu maka tidak jarang
apa yang dilakukan oleh organisasi massa ini justru cenderung menggarisbawahi
dan menjabarkan lebih lanjut terhadap kebijakan yang dilaksanakan.
Tokoh perorangan,
seseorang yang memiliki kapasitas dan kelebihan pribadi yang bagus akan
diangkat menjadi orang yang memberi nasihat keahlian terhadap implementasi
kebijakan. Peranan tokoh perorangan ini sangat besar dan menentukan terhadap
implementasi kebijakan sebab bisa saja apa yang mereka katakan akan diikuti
begitu saja oleh pelaksana kebijakan formal lebih-lebih jika pelaksana
kebijakan formal tidak begitu memiliki waktu untuk memikirkannya.
Media massa, menjadi
partner yang baik dalam pelaksanaan kebijakan terutama dalam hal pemberian
informasi kepada masyarakat. Masyarakat akan mengetahui bagaimana implementasi
kebijakan yang sedang berjalan. Informasi yang diberikan oleh media massa
kurang lebih akan memengaruhi para pembacanya.
Sedangkan menurut Chan & Sam (2005:28-29) aktor
kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi
dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau
lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan.
Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang
terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik di antaranya yaitu
wakil-wakil partai politik yang duduk di lembaga perwakilan sebagai perumus
kebijakan formal serta berusaha memengaruhi pelaksanaan kebijakan, dan media.
Arena
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Arena yaitu suatu wahana, tempat, dan gelanggang
yang digunakan para peserta implementasi kebijakan untuk memainkan perannya.
Arena ini bisa di level nasional, dapat juga di level operasional dan teknikal.
Lembaga-lembaga perwakilan, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat daerah
tingkat dua adalah arena yang sering digunakan. Demikian juga birokrasi, mulai
dari pusat sampai dengan ke bawah adalah gelanggang bagi implementasi
kebijakan. Di arena ini, para peserta implementasi kebijakan pendidikan dapat
menggunakan kewenangan yang mereka miliki. Berkaitan dengan wewenang tersebut,
Weber dalam Imron (2012:72) menggolongkannya menjadi tiga bagian. Pertama,
kewenangan tradisional, yaitu kewenangan yang didasarkan atas tradisi atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, kewenangan legal-rasional atau
birokratis ialah kewenangan yang didasarkan atas peraturan-peraturan yang
berlaku. Ketiga, kewenangan karismatis adalah kewenangan yang didasarkan atas
adanya jalinan emosional para pengikut terhadap para pemimpinnya.
Jenis-jenis
Kebijakan
Anderson dalam Imron (2012:73) mengemukakan beberapa
jenis kebijakan, yaitu: (1) substantive policies, yaitu materi, isi, atau
subject matter kebijakan; (2) procedural policies, yaitu menyangkut siapa,
kelompok mana dan pihak mana yang terlibat dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan; (3) distributive policies, yaitu kebijakan yang memberikan pelayanan
atau keuntungan kepada sejumlah atau sekelompok masyarakat (bisa berada di
berbagai bidang); (4) redistributive policies yaitu kebijakan yang arahnya
memindahkan hal kepemilikian atau hak-hak kepada masyarakat; (5) regulatory
policies yaitu suatu kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan atas suatu
perbuatan terhadap seorang atau sekelompok orang; (6) self regulatory policies
dimana biasanya didukung oleh seseorang maupun sekelompok orang yang memiliki
kepentingan dengan implementasi kebijakan yang sedang berjalan; (7) material
policies yaitu suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan sumber-sumber
material kepada penerimanya dengan mengenakan beban kepada yang
mengalokasikannya; (8) symbolic policies yaitu kebijakan yang umumnya tidak
memaksa masyarakat karena dilaksanakan atau tidaknya kebijakan ini tidak
terlalu besar dampaknya kepada masyarakat; (9) collective good policies yaitu
suatu kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan guna memenuhi
kepentingan orang banyak yang jika diberikan kepada seseorang atau sekelompok
orang harus juga diupayakan agar tersedia untuk semua orang; (10) private good
policies yaitu suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang atau
pelayanan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan harus menyediakan
biaya untuk mendapatkan hal tersebut. Kebijakan ini tidak terlalu berbeda dari
mekanisme pasar yakni siapa yang membutuhkan dan menyediakan dana untuk itu
maka ia akan mendapatkannya; (11) liberal policies yaitu suatu kebijakan yang
menuntut kepada pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubahan yang mengarah
pada pengurangan ketidakmerataan hidup masyarakat; dan (12) conservative
policies yaitu mempertahankan apa yang telah ada bahkan tuntutan atas
perubahanpun diperlambat. Perubahan dianggap akan berjalan secara alamiah dan
tidak perlu direkayasa.
Metodologi
dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Hoogwood & Gun merupakan tokoh pencetus teori
yang menggunakan top down approach. Dalam teori ini, Akib (2010:50-51)
menyatakan bahwa agar dapat mengimplementasikan kebijakan dengan sempurna, maka
diperlukan beberapa syarat, diantaranya: (1) kondisi eksternal yang dihadapi
oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar;
(2) apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai termasuk
sumber daya waktu; (3) apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar ada; (4) apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari
hubungan kausal yang andal; (5) seberapa banyak hubungan kausalitas yang
terjadi. Asumsinya semakin sedikit hubungan sebab akibat semakin tinggi pula
hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai; (6) apakah
hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling
ketergantungan tinggi, implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif;
(7) pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; (8) tugas-tugas
telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar; (9) komunikasi dan
koordinasi yang sempurna; dan (10) pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan
dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Arah
Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Studi Analisis Terhadap Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Kebijakan pendidikan di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai halhal sebagai berikut: 1.
Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia
Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara
berarti; 2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan
jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu
berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi
pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; 3.
Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum
yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional; 4. Memberdayakan lembaga
pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat
yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai; 5. Melakukan pembaharuan dan
pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan dan manajemen; 6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan
sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; 7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia
sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya
proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat
berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai
dengan potensinya; 8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia
usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Pendekatan
dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Tilaar & Nugroho
(2012) menyatakan bahwa pendekatan dalam implementasi kebijakan pendidikan
dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan
deskriptif atau positif, merupakan prosedur atau cara untuk menerangkan suatu
gejala yang terjadi dalam masyarakat dengan keadaan tidak adanya kriteria;
bertujuan mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai keadaan apa
adanya (state of the art) dari gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan
umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti (Chan & Sam,
2005:24). Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan menyajikan
informasi apa adanya pada para pengambil keputusan, agar memahami permasalahan
yang sedang disoroti dari kebijakan.
2.
Pendekatan
normatif, merupakan upaya untuk menawarkan suatu norma, kaidah, resep yang
dapat digunakan dalam rangka memecahkan suatu masalah, yang. Dalam analisis
kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan membantu para pengambil keputusan dalam
bentuk pemikiran mengenai prosedur paling efisien dalam memecahkan masalah
kebijakan publik, yang biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil
dari analisis data. Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis
kebijakan dalam dimensi rasional (Chan & Sam, 2005:24).
3.
Pendekatan
evaluatif, menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu keadaan/upaya yang
dilakukan oleh suatu kegiatan/program dengan menerapkan kriteria atas
terjadinya keadaan tersebut. Gejala yang diterangkan adalah gejala yang
berkaitan dengan nilai dan pengukuran setelah dihubungkan dengan kriteria yang
sudah ditentukan sebelumnya. Misalnya, meningkatnya mutu pendidikan adalah
suatu gejala yang dipersepsikan setelah dilakukan pengukuran dalam kaitannya
dengan kriteria tentang mutu pendidikan yang ditentukan sebelumnya. Dengan kata
lain, pendekatan ini lebih menekankan pada pengukuran (Tilaar & Nugroho,
2012:106).
Sedangkan Hasbullah
(2015:101) mengatakan bahwa para ahli ilmu-ilmu sosial mengemukakan, setidaknya
ada empat pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan
umumnya, termasuk kebijakan pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.
Pendekatan struktural,
merupakan salah satu pendekatan yang bersifat top-down yang dikenal dalam
teori-teori organisasi modern. Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan
pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi
secara struktural. Pendekatan ini menekankan pentingnya komando dan supervisi
menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing-masing organisasi.
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu proses implementasi kebijakan
pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien.
2.
Pendekatan
prosedural dan manajerial, pada dasarnya dikembangkan untuk mengatasi kelemahan
pendekatan struktural, di mana pendekatan ini tidak mementingkan penataan
struktur-struktur birokrasi pelaksana yang cocok bagi implementasi program,
melainkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang
relevan, termasuk prosedur-prosedur manajerial beserta teknik-teknik manajemen
yang tepat.
3.
Pendekatan
perilaku, meletakkan dasar semua orientasi dari kegiatan implementasi kebijakan
pada perilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasinya sebagaimana
pendekatan struktural atau pada teknik manajemennya sebagaimana pendekatan
prosedural dan manajerial.
4.
Pendekatan
Politik, lebih melihat pada faktor-faktor politik atau kekuasaan yang dapat
memperlancar atau menghambat proses implementasi kebijakan. Dalam sebuah
organisasi, selalu ada perbedaan dan persaingan antar individu atau kelompok
dalam memperebutkan pengaruh. Akibatnya adalah ada kelompok-kelompok individu
yang dominan serta ada yang kurang dominan, ada kelompok-kelompok pengikut dan
ada kelompok penentang.
Satu hal yang paling penting untuk menentukan
pendekatan adalah implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari
kebijakan itu sendiri. Dalam menentukan pendekatan implementasi kebijakan juga
harus memerhatikan aktor pelaksananya. Aktor implementasi tidaklah hanya
pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah,
kerjasama antara pemerintah masyarakat atau swasta, dan implementasi kebijakan
yang diswastakan. Sehingga apapun pendekatan yang dipakai, apabila aktor
pelaksananya mengetahui target implementasi yang seharusnya dicapai, maka akan
berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah dirumuskan.
Skenario
Analisis Kebijakan
Menurut Wahab
(2008:74-75) skenario merupakan langkah-langkah hipotetik yang difokuskan pada
proses- proses kausalitas dan titik-titik kritis keputusan. Selanjutnya seorang
analis perlu memikirkan beberapa hal dalam menentukan langkah menyusun skenario
analisis kebijakan menurut sebagai berikut: (1) merumuskan lingkungan politik
yang relevan dengan masalah kebijakan yang ditanganinya; (2) menghimpun dan
mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan; dan (3) membuat
pertimbangan politik dan mneyiapkan perkiraan kelayakan politiknya.
Adapun langkah-langkah
secara garis besar dalam membuat skenario analisis kebijakan adalah sebagai
berikut: (1) sebelum menyusun desain alternatif kebijakan, perlu merumuskan
dulu bentuk serangkaian pernyataan-pernyataan hipotetikal; (2) merumuskan
secara tepat policy space (ruang kebijakan) dan mengkaitkannya dengan substansi
kebijakan sebagai policy issue area (daerah isu kebijakan); (3) memperhatikan
aspek waktu dan fisibilitas sebuah kebijakan; dan (4) mengkaji informasi
politik yang relevan yaitu menyangkut aktor kunci; motivasi aktor; kepercayaan
politik aktor; sumberdaya; pentas para aktor; dan pertukaran.
Dalam kaitan dengan skenario analisis kebijakan,
ramalan (estimasi) merupakan hal penting bagaimana fakta yang ada digunakan
untuk memperkirakan apa yang akan terjadi. Estimasi sendiri berkaitan dengan
data dan teori yang dapat menjelaskan tentang subjek yang kompleks. Data
dilihat dalam kaitannya dengan teori yang menjelaskan tentang hubungan antara
komponen dalam sistem sosial. Kekurangpahaman tentang hubungan sosial elementer
dalam mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengklasifikasikan data akan
mengakibatkan gagalnya analisis kebijakan dilaksanakan.
Hubungan
Antara Pembuat dan Pelaksana Kebijakan Pendidikan
Imron (2012:77) mengatakan bahwa dalam pelaksanaan
kebijakan, para perumus kebijakan seringkali berhubungan dengan pelaksana
kebijakan Pendidikan. Hubungan tersebut senantiasa dilakukan karena saling
berkepentingan terhadap kebijakan yang dilaksanakan. Nakamura & Smallwood
dalam Imron (2012:78) mengemukakan bahwa terdapat model-model hubungan antara
perumus dan pelaksana kebijakan pendidikan, antara lain: (1) model hubungan
teknokratis yang didasarkan pada teori klasik birokratis dimana pembuat kebijakan
sebagai perancang struktur komando mengenai kebijakan, sedangkan pelaksana
sekadar sebagai pelaksana teknikal; (2) model hubungan utusan yang diberi
wewenang dimana pembuat kebijakan memberikan kewenangan umum kepada pelaksana
sedangkan pelaksana kebijakan berkedudukan sebagai penerima kewenangan yang
nantinya akan diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan konkrit; (3) model
hubungan antara penjual dan pembeli dimana pembuat dan pelaksana saling menawar
dan kedudukan di antara keduanya seimbang maka keduanya dapat melakukan tawar
menawar dalam pelaksanaan kebijakan; dan (4) model hubungan wiraswasta
birokratis yang merupakan kebalikan dari model hubungan teknokratis dimana pada
model hubungan wiraswata birokratis ini kekuasaan besar berada di tangan pelaksana
kebijakan sekaligus dalam hal control kebijakan.
Faktor-faktor
yang Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Tilaar &
Nugroho (2012:108) keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh
banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai
variabel yang terlibat didalam implementasi, maka dari itu ada pembatasan dalam
penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edwards
III. Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variabel, yakni:
1.
Komunikasi,
implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan yang perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para
pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu
dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun
tujuan kebijakan itu. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur
keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu: (a) transmisi; (b) kejelasan
informasi; dan (c) konsistensi informasi yang disampaikan.
2.
Sumber daya,
walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi
tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya
manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumber daya
adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber
daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Sumber daya
manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat
dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan
pengawasan dengan baik.
3.
Disposisi, yaitu
watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen,
kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan
bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang
hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami banyak masalah.
4.
Struktur
birokrasi, dimana struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah
adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) dimana menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak.
Dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu
proses yang sangat kompleks karena ada banyak faktor yang dapat memberikan
pengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan. Hal yang harus diperhatikan
yaitu: (1) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk sasaran, siapa yang
berperan, dan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, dan (2) dana pendukung
yang proporsional.
Faktor
Penentu Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi merupakan
tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan. Interaksi merupakan konsep penting
dalam implementasi yang mengacu pada suatu hubungan yang terkadang sangat
kompleks. Dalam implementasi terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
(1) Formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk kelompok sasaran; siapa
yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus dilaksanakan, dan (2)
dana pendukung yang proporsional, tanpa dana kebijakan tidak akan pernah
terealisasikan.
Menurut Syukur dalam
Hasbullah (2015:104), ada tiga unsur penting dalam proses implementasi
kebijakan, yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan, (2)
target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan
menerima manfaat dari program, perubahan atau peningkatan, (3) unsur pelaksana
(implementor) baik organisaai atau perorangan untuk bertanggung jawab dalam
memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Terlaksana tidaknya
suatu kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, ditentukan oleh banyak faktor.
Para pakar kebijakan memiliki pandangan beragam tentang faktor-faktor yang
memengaruhi berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan. Grindle dalam
Hasbullah (2015:104), menyatakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam
mengimplementasikan kebijakan adalah aspek isi dari kebijakan itu sendiri
(content of policy) yang akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosial,
ekonomi dan politik, serta aspek konteks atau lingkungan implememtasi (contex
of implementation) dilakukan. Kedua aspek tersebut dipahami Grindle sebagai
faktor-faktor yang dapat memengaruhi berhasil tidaknya proses implememtasi
kebijakan.
Pakar kebijakan lainnya
Dunn dalam Hasbullah (2015:104) mengemukakan bahwa untuk keberhasilan suatu
kebijakan harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Policy Stakeholder, yaitu para individu atau kelompok individu yang
mempunyai andil di dalam kebijakan, karena mereka memengaruhi dan dipengaruhi
oleh keputusan pemerintah lingkungan di maana kebijakan akan ditetapkan.
2.
Policy Environment,
yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan akan
terjadi saling memengaruhi oleh kebijakan publik.
Imron dalam Hasbullah
(2015:105), merinci berbagai faktor yang berpengaruh terhadap implementasi
kebiijakan terutama di bidang Pendidikan, yaitu:
1.
Kompleksitas
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, semakin kompleks suatu kebijakan yang
dibuat, maka semakin rumit dan lama implementasinya, bahkan kompleksitas
rumusan kebijakan juga berakibat pada banyaknya peraturan-peraturan jabaran,
petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis) yang harus dibuat.
2.
Tidak jelasnya
rumusan kebijakan dan pemecahan masalah yang diajukan, ketidak jelasan demikian
dapat menjadikan penyebab aparat pelaksaana ragu-ragu. Khawatir jika hal
tersebut dilaksanakan, tidak sesuai dengan yang dikehendaki sebagaimana dalam
rumusannya.
3.
Faktor
sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan, tersedia
tidaknya sumber potensial, baik yang bersifat manusia maupun nonmanusia, dapat
dipastikan akan memengaruhi implementasi kebijakan, sebab bagaimanapun
pelaksanaan kebijakan punya konsekuensi logis bagi penyediaan sumber-sumber
potensial kebijakan.
4.
Keahlian
pelaksana kebijakan, semakin profesional pelaksana kebijakan, baik profesional
yang bersifat teknis maupun manajerial, maka akan semakin baik pula implemetasi
kebijakan. Sebaliknya, semakin tidak ahli, bisa menjadi penyebab gagalnya
bahkan tidak berhasilnya implementasi.
5.
Dukungan dari
khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan, dukungan dari
masyarakat sangat diperlukan, sebab kebijakan yang dilaksanakan adalah
melibatkan masyarakat banyak, dengan berbagai karakteristiknya.
6.
Faktor-faktor
efektivitas dan efisiensi birokrasi, dimana faktor ini sangat penting, sebab
tidak jarang masyarakat justru ingin memberikan dukungan terhadap kebijakan
dapat merasa kesulitan hanya disebabkan tidak bagusnya birokrasi yang menjadi
pendukungnya tetapi masyarakat mengalami kesulitan setelah berhubungan dengan birokrasi
dan aparatnya.
Problema
dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Hasbullah
(2015:106) implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan.
Interaksi merupakan konsep penting dalam implementasi, yang mengacu pada suatu
hubungan yang terkadang kompleks. Dalam implementasi dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu: (a) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk
kelompok sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus
dilaksanakan; dan (b) dana pendukung yang proporsional. Tanpa dana kebijakan
tidak akan pernah terealisir.
Implementasi dalam
kenyataannya tidak selalu berjalan dengan baik, beberapa faktor di antaranya
adalah:
1.
Faktor
organisasi
Suatu kebijakan
dalam implementasinya seringkali memerlukan keterlibatan dari banyak organisasi
yang terkadang memiliki persepsi dan interest yang berlainan, baik dalam
organisasi pemerintah maupun antara organisasi pemerintah dengan organisasi
swasta. Keadaan ini sering menimbulkan masalah koordinasi dan compliance.
2.
Faktor politik
Faktor politik
seringkali disebit sebagai faktor non teknis, yang mencakup: (a) legislasi
tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari tujuan yang ingin dicapai
yang sering tidak jelas dan (b) log-rolling,
dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi suatu program diakibatkan kesalahan
pada saat proses legitimasi, proses bargaining yang dilakukan aktor-aktor
perumus kebijakan dilakukan dengan cara setuju atau ketidaksetujuan terhadap
uslan kebijakan dilakukan dengan tukar tambah atau modifikasi usulan, sehingga
akibatnya setelah usulan ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak
jelas (vague).
3.
Faktor politik
antar organisasi (aktor)
Merupakan
perbedaan mengenai lingkungan politik masing-masing organisasi, yang disebabkan
oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing aktor. Dalam konteks
hubungan antar organisasi politik (pelaksana) terbagi dalam dua struktur,
yaitu: (a) struktur implementasi secara vertikal, yang mempengaruhi
keberhasilan impelementasi adalah kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat untuk melaksanakan kebijakan seperti yang telah digariskan dan (b)
struktur implementasi secara horizontal, koordinasi menjadi kata kunci
keberhasilan implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing
instansi dalam mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam
terminologi implementasi disebut politik antar organisasi dalam implementasi.
Kendala
dan Perspektif Keberhasilan Implementasi
Implementasi kebijakan
pendidikan yang juga merupakan program pemerintah dapat dipandang dari tiga
sudut yang berbeda, yaitu: pertama, pemrakarsa atau pembuat kebijakan, kedua,
penjabat-penjabat pelaksana di lapangan, dan yang ketiga, aktor-aktor
perorangan diluar baadan-badan pemerintahan kepada siapa program itu dituju,
yakni kelompok sasaran atau target grup. Kondisi demikian berarti implementasi
kebijakan dan strategi merupakan desain pengelolaan berbagai sistem yang
berlaku dalam organisasi untk mencapai tingkat integrasi yang tinggi dari seluruh
unsur yang terlibat yaitu, manusia, struktur, proses administrasi dan manajemen
serta dana, yang kesemannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
organisasi.
Untuk dapat
melaksanakan berbagai kebijakan yang telah dibuat pemerintah, menurut Peters
dalam Hasbullah (2015:107) maka sangat diperlukan instrumen untuk mempengaruhi
tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yaitu: (1) Hukum, dengan menetapkan
suatu hukum, pemerintah mempunyai legitimasi untuk dapat melaksanakan suatu kebijakan
yang dapat memaksa setiap warga Negara untuk mentaatinya. (2) Services,
pemerintah dapat melaksanakan kebijakan dengan memberikan pelayanan kepada
setiap warga Negara. Pemberian pelayanan dapat meliputi berbagai bidang
termasuk pelayanan pendidikan serta yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
agar pelayanan tersebut dapat diberikan oleh pemerintah secara efisien. (3)
Dana, ketersediaan dana merupakan instrumen kebijakan yang sangat penting sebab
pemberian pelayanan kepada masyarakat dan jalannya organisasi pemerintah hanya
mungkin dilakukan dengan adanya sumber daya untuk membiayai semua kegiatan
pemerintah. (4) Pajak, instrumen kebijakan pemerintah untuk terciptanya
pemerataan berbagai jenis pelayanan kepada masyarakat. Walaupun pajak dipungut
dari masyarakat namun akan dikembalikan oleh pemerintah kepada masyarakat
melalui berbagai bentuk program yang memberikan keuntungan kepada masyarakat
yang kurang beruntung. (5) Situasi, apabila semua instrumen di atas gagal untuk
digunakan oleh pemerintah maka dapat menggunakan keyakinan moral untuk
memengaruhi masyarakat. Karena sepanjang masih memiliki legitimasi masyarakat
maka memiliki posisi yang menguntungkan dalam menumbuhkan kepercayaan
masyarakat sebab masyarakat merupakan aspek yang sangat berpengaruh atas nama
kepentingan umum.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan merupakan
suatu aturan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu berkaitan dengan adanya
permasalahan tertentu dalam rangka mencari alternatif-alternatif agar tujuan
atau sasaran yang ditentukan dapat tercapai. Sedangkan kebijakan pendidikan
sendiri merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah
strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi mengarah pada
ketercapaian tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.
Keberhasilan kebijakan
pendidikan terletak pada implementasinya karena rumusan kebijakan yang dibuat
harus dilaksanakan secara fungsional. Jika tidak diimplementasikan maka tidak
dapat dirasakan kegunaan dari rumusan kebijakan itu sendiri. Akan lebih baik
jika suatu rumusan kebijakan yang dibuat dapat mendukung mudahnya implementasi
kebijakan. Implementasi bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan
suatu rumusan kebijakan.
Saran
Saran yang dapat
penulis berikan kepada pemerintah yaitu sebaiknya atau sekiranya implementasi
kebijakan pendidikan di Indonesia ini dapat lebih dipersiapkan mulai dari
perumusan kebijakan itu sendiri hingga nantinya ada evaluasi dari kebijakan
pendidikan tersebut. Untuk perumus kebijakan, saran yang dapat diberikan yaitu
sekiranya dalam merumuskan kebijakan pendidikan harus benar-benar dirumuskan
dengan matang serta melihat kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat terjadi
saat implementasi kebijakan itu sendiri lalu juga harus sudah memiliki solusi
dari kemungkinankemungkinan tersebut. Selain itu, perumus kebijakan pendidikan
juga harus senantiasa ikut memantau keberlangsungan implementasi kebijakan
pendidikan.
Lalu untuk pelaksana kebijakan pendidikan dimana
mengingat pelaksana kebijakan pendidikan ini merupakan aktor yang berperang
paling utama dalam kebijakan pendidikan maka harus senantiasa melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya dengan baik karena di sini keputusan akhir banyak
bergantung pada pelaksana kebijakan pendidikan ini. Dan untuk para aktor
implementasi kebijakan Pendidikan juga harus senantiasa melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya dengan baik. Dengan begitu maka implementasi kebijakan pendidikan
di Indonesia akan menjadi lebih baik lagi ke depannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Akib, H. 2010. Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa,
dan Bagaimana: Jurnal Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar, 1(1).
(Online), (ojs.unm.ac.id/iap/article/view/289).
Chan, S. M. & Sam, T. T. 2005. Analisis SWOT,
Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbullah, H. M. 2015. Kebijakan Pendidikan Dalam
Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Imron, A. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia: Proses, Produk & Masa Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Munadi, M. & Barnawi. 2011. Kebijakan Publik di
Bidang Pendidikan. Yogyakarta: ArRuzz Media.
Tilaar, H. A. R. & Nugroho, R. 2012. Kebijakan
Pendidikan, Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan
Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab, S. A. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik. Malang: UMM Press.
Komentar
Posting Komentar